Taliban: Nasionalis, Agamis, & Ekstremis

Dendy Rio
5 min readSep 1, 2021

Pojok Opini — 1/9/21

“Kami memiliki agenda di dalam negeri kami untuk membebaskan negara kami dari pendudukan. Ini adalah hak kami untuk memiliki negara yang merdeka, dan memiliki kemerdekaan kami sendiri.”

- Dr. Suhail Shaheen, 2021 via Youtube Narasi Newsroom

Sebuah pernyataan menarik dilontarkan oleh Dr. Suhail Shaheen dalam menjawab pertanyaan dari jurnalis Narasi yaitu tentang apakah Taliban memiliki agenda luar negeri di luar Emirat Islam Afghanistan. Beliau dengan sadar menyampaikan bahwa mereka tidak memiliki agenda politik luar dan hanya menginginkan kemerdekaan.

Credit: Narasi Newsroom

Mungkin bagi sebagian dari kita, pernyataan tersebut terlihat hipokrit jika dibandingkan dengan realitas yang pernah terjadi dan apa-apa yang terlihat di Afghanistan. Namun di sisi lain, hal tersebut seakan-akan menjadi sebuah harapan untuk kehidupan baru yang penuh dengan kedamaian.

Menilik kebelakang, konflik yang terjadi di Afghanistan tidak terlepas dari era pasca perang dingin terjadi, yang dimana era ini memunculkan pertikaian global, seperti yang dikatakan oleh Huttington (1996) dalam bukunya, The clash of civilizations: Remarking of world order.

Pada masa inilah muncul ketegangan antara blok Muslim dan Kristen. Dalam pandangannya, ketegangan yang muncul merupakan “konsekuensi alami dari kebangkitan Islam” (Lewis, 2002, hlm. 158–159). Dan mungkin bukan secara kebetulan, Perang Soviet-Afghanistan tahun 1980-an menandai pembukaan salvo di kulturkampf yang menandai berakhirnya era perang dingin (Huntington, 1996, hlm. 246).

Sedikit berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Huttington, Bernard Lewis (2002) menarik kembali konflik yang terjadi sekarang dari akhir perang dingin ke awal keruntuhan Kekaisaran Ottoman dan kebangkitan dari Barat dan Kristen Eropa, khususnya di bawah Sultan Istanbul, yang telah berada di garda depan pencapaian dan peradaban global selama berabad-abad (Lewis, 2002, hlm. 3).

Namun, keunggulan tersebut memudar seiring dengan Eropa yang mulai merangkul kemajuan teknologi yang memungkinkan Kristen Barat untuk melampaui Muslim Timur, menyediakan Eropa sumber daya untuk mendirikan kolonial di seluruh dunia, termasuk wilayah Muslim (Lewis, 2002, hlm. 60–61). Bahkan, setelah Perang Dunia I selesai, dominasi Kekristenan atas Islam telah lengkap kecuali untuk daerah-daerah terpencil di semenanjung Arab dan Afghanistan (Lewis, 2002, hlm. 60–61).

Lalu apa solusinya untuk menghentikan kemunduran Islam? Lewis menyatakan ada dua jalan yang dapat digunakan. Pilihan pertama adalah bagi Timur untuk merangkul gagasan Barat tentang negara sekuler ala Mustafa Kemal Atatürk. Pilihan kedua terletak pada jalan yang diberikan oleh Ayatollah Ruhollah Khomeini — sebuah komitmen untuk merebut kembali masa lalu yang gemilang melalui pemulihan Islam di puncak kehidupan nasional (Lewis, 2002, hlm. 158–159).

Mariam Raqib (2020) menyatakan dalam jurnalnya bahwa dalam asumsi Ilmu Politik bahwa kebangkitan Taliban adalah bagian dari pemulihan agama yang lebih signifikan, sejalan dengan kerangka Budaya Politik. Di sisi lain, Connor menyatakan bahwa agama adalah salah satu dari beberapa ciri budaya yang mungkin digunakan kaum nasionalis untuk membedakan “kita” dari “mereka” (Connor, 1994, hlm. 44).

Bencana ini telah berkembang biak di Timur Tengah. “Daya tarik nasionalisme, seperti halnya fundamentalisme agama. Di Timur Tengah, sebagian besar merupakan cerminan dari krisis martabat, yaitu rasa harga diri, kehormatan dan harga diri individu.” (Razi, 1990, hlm. 82).

Lalu yang menjadi pertanyaan, siapakah Taliban? Mereka menyatakan diri mereka sebagai Mujahidin — pejuang dalam Jihad, atau perang suci, melawan musuh-musuh Islam (M. Mujahid, 2012). Mereka bersikeras bahwa “Islamic Emirate adalah perwakilan sah rakyat Afghanistan,” dan terus mengklaim untuk mengikuti kewajiban Islam, mereka akan melanjutkan “jihad bersenjata dan perjuangan melawan pasukan pendudukan” dan sekutu Afghanistan mereka(‘Islamic Emirate’, 2012) .

Taliban menyerukan kepada seluruh Muslim untuk membebaskan diri dari penjajahan asing dan boneka asli mereka (M. Mujahid, 2012). Memadukan Keimanan dan kebangsaan, mereka bersikeras bahwa itu adalah “kewajiban agama dan nasional untuk membebaskan negara dari pendudukan” (M. Mujahid, 2013). Taliban terlihat sebagai kelompok yang bersikeras dan berjuang untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan, tetapi apakah usaha yang dilakukan mereka sudah tepat?

Secara tradisional, penduduk Afghan hidup dengan tiga kode hukum bersamaan yaitu, hukum adat, hukum agama, dan hukum resmi negara (Barfield, 2008, hlm. 351). Salah satu kode hukum non-agama yang paling terkenal adalah Pashtunwali. Di sisi lain, Taliban juga berusaha menerapkan hukum syariah yang keras bahkan ekstrim di Afghanistan.

Menariknya, hubungan Pashtunwali dengan hukum Afghanistan dan Syariah memburuk tajam selama pemerintahan Taliban. Setelah merebut Kabul pada tahun 1996, Taliban mengesampingkan tradisi Hanafi dan mendukung interpretasi Salafi yang keras terhadap Quran (Barfield, 2008, hlm. 349, 366–367). Ketidaksesuaian antara Pashtunwali dan Syariah dapat menciptakan keretakan yang dalam di masyarakat Afghanistan, tetapi tidak di sebagian besar sejarah negara itu (Mariam, 2014).

Konflik yang terjadi di Afghanistan terkesan rumit. Bukan hanya campur tangan pihak dari luar yang membuatnya semakin runyam, pada kondisi internal mereka sendiri, mereka dihadapkan dengan dualisme penegakan hukum yang mungkin cukup bertentangan. Hal ini ditambah dengan penerapan hukum syariah yang keras oleh Taliban.

Melihat apa yang terjadi di Afghanistan mungkin membuat kita bingung tentang apa yang akan mereka lakukan nantinya. Pepatah mengatakan bahwa penampilan bisa menipu dan masih hidup serta berkembang di ranah mitos nasionalis (Mariam, 2014). Taliban Afghanistan tidak terkecuali. Tujuan bisa jadi benar, tetapi cara juga mungkin salah atau kurang tepat.

Apa yang sekarang terjadi dan pernah terjadi dengan Taliban di Afghanistan dapat menjadi cerminan juga bagi kita, bahwa tujuan mulia seharusnya diiringi dengan usaha yang mulia juga dan bukan sebaliknya.

Apapun yang dilakukan Taliban sekarang dan nanti adalah tanggung jawab mereka dalam menepati janji-janjinya. Kita hanya tinggal duduk manis dan menonton. Semoga selalu ada perdamaian di sana. Wallahu A’lam bi showab.

Referensi

  1. Mariam Raqib & Amilcar Antonio Barreto (2014) The Taliban, religious revival and innovation in Afghan nationalism, National Identities, 16:1, 15–30, DOI: 10.1080/14608944.2013.843517 (Jurnal Q1, Terindeks Scopus)
  2. Huntington, S.P. (1996). The clash of civilizations: Remarking of world order. New York, NY: Touchstone/Simon & Schuster.
  3. Lewis, B. (2002). What went wrong?: The clash between Islam and modernity in the Middle East. New York, NY: Harper Collins.
  4. Connor, W. (1994). Ethnonationalism: The quest for understanding. Princeton, NJ: Princeton University Press.
  5. Razi, G.H. (1990). Legitimacy, religion, and nationalism in the Middle East. The American Political Science Review, 84(1), 69–91. 10.2307/1963630 (Jurnal Q1, Terindeks Scopus)
  6. Mujahid, M.M.O. (2012, October 24). Message of felicitation of the esteemed Amir-Ul-Momineen (May Allah Protect Him) on the occasion of the Eid-Ul-Odha. The Unjust Media. Retrieved from http://theunjustmedia.com/Afghanistan/Statements/Oct12/Message%20of%20Felicitation%20of%20the%20Esteemed%20Amir-ul-Momineen%20Eid-ul-Odha.htm.
  7. Barfield, T. (2008). Culture and custom in nation-building: Law in Afghanistan. Maine Law Review, 60(2), 347–373.

--

--